Polemik yang melanda PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk belakangan ini menjadi perhatian publik. Pada Oktober 2024, perusahaan tekstil raksasa ini dinyatakan pailit, menimbulkan kekhawatiran bagi ribuan karyawannya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) kemudian melakukan investigasi mendalam terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex. Hasilnya, mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kongkalikong dalam proses perolehan kredit.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, ditemukan anomali dalam laporan keuangan Sritex. Pada 21 Mei 2025, Qohar mengungkapkan bahwa terdapat indikasi penyimpangan dalam penggunaan dana pinjaman.
Dana yang seharusnya digunakan untuk modal kerja perusahaan, justru dialihkan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, seperti tanah di Yogyakarta dan Solo. Hal ini bertentangan dengan tujuan awal pemberian kredit.
Selain Iwan Setiawan Lukminto, Kejagung juga menetapkan dua tersangka lain, yaitu Direktur Utama Bank DKI Tahun 2020, Zainuddin Mappa (ZM), dan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata (DS). Keduanya diduga memberikan kredit secara melawan hukum, tanpa melakukan analisis yang memadai dan tidak mematuhi prosedur yang berlaku.
Salah satu indikasi pelanggaran adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja. Lembaga pemeringkat kredit memberikan predikat BB min kepada Sritex, yang menunjukkan risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Idealnya, pemberian kredit tanpa jaminan hanya diberikan kepada perusahaan dengan peringkat A.
Akibatnya, kredit Sritex menjadi macet dan tidak dapat terbayarkan. Kejagung menyita sejumlah barang bukti elektronik dan dokumen terkait kasus ini. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan cukup besar. Sritex melaporkan kerugian mencapai USD 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,65 triliun pada tahun 2021. Padahal, setahun sebelumnya, perusahaan masih mencatatkan keuntungan sebesar USD 85,32 juta atau setara dengan Rp 1,24 triliun.
Kejagung terus mendalami kasus ini untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak lain dan potensi kerugian negara yang lebih besar. Kasus Sritex menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya tata kelola perusahaan yang baik dan pengawasan yang ketat dalam pemberian kredit.
Kasus ini juga menyoroti dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor industri, namun penyimpangan dalam penggunaan dana pinjaman menjadi faktor utama yang memperparah kondisi keuangan Sritex.